Menjadi busur bagi anak-anak kita

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka dilahirkan melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan fikiranmu
Karena mereka memiliki fikiran mereka sendiri
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubh mereka, tapi bukan jiwa mereka
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi
Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu
Engkau adalah busur-busur tempat anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup di luncurkan
Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia merenggangkanmu dengan kekuatannya, sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh
Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan
Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur teguh yang telah meluncurkannya dengan penuh kekuatan
Khalil Gibran (dari “Cinta, Keindahan, Kesunyian”)


Setiap kali saya membaca karya besar Kahlil Gibran ini, saya selalu merasakan begitu dalam dan indah makna yang diungkapkannya. Karya ini mengajarkan banyak hal dalam hidup saya. Tulisan ini menjadi pedoman untuk saya menjadi ibu yang lebih baik bagi anak-anak saya. Pengalaman hidup selalu menjadi guru yang baik dan inspirasi dari tulisan karya Khalil Gibran menjadi suatu motivasi saya untuk tidak hanya terinspirasi tapi juga menerapkan dalam hidup saya.

Ketika putri pertama saya lahir, saya mempunyai mimpi-mimpi untuk dia, mengharapkan dia menjadi seperti yang saya inginkan. Saya membisikkan dalam hati saya, “nak, kamu harus menjadi seorang yang pandai dan kamu akan belajar ini dan itu” Sampai suatu hari saya membaca tulisan Khalil Gibran dan merenungkan dalam-dalam maknanya. Suatu kesadaran muncul di hati saya, sesungguhnya bisikan dan harapan saya itu adalah mimpi dan harapan saya sebagai orang tua, dan itu bukan milik anak saya. Saya menilik kembali banyak dari impian itu adalah keinginan saya yang tak mampu saya penuhi oleh diri saya sendiri. Alangkah naifnya saya membebani seorang anak untuk menjadikan dirinya sebagaimana saya sendiri, saya seolah mencuri hal yang paling berharga yang dimilikinya yaitu mimpinya sendiri. Sejak saat itu saya tidak lagi memberi mimpi saya untuk anak saya. Saya hanya menjadi pendorong dari mimpi-mimpi dan harapan anak saya.

Pelajaran ini bukan hanya berlaku untuk anak-anak saya tapi juga berlaku untuk anak didik saya. Suatu pengalaman yang bisa saya bagikan adalah suatu hari saya harus menghadapi seorang ibu yang marah kepada anaknya karena membolos. Saat seorang guru memberitahu ibu tersebut bahwa anaknya membolos beberapa hari. Ibu tersebut marah besar, memaki, memukuli anaknya. Saya terpaksa melerai ibu tersebut dengan susah payah. Saya hanya mampu berkata,”Maaf ibu, anak ibu menjadi anak yang pemarah dan sulit ditegur karena ibu memperlakukan dia seperti ini” Ibu tersebut memandang saya dengan marah dan berkata,”Ibu tidak tahu betapa sulit saya mengajar dia” Saya hanya bisa berkata,”Mengajar atau menghajar bu?”

Betapa sulit bagi kita sebagai orang tua untuk mengendalikan kemarahan kita, kekecewaan kita terhadap anak-anak kita. Berawal dari pengharapan kita sebagai orang tua yang selalu berpikir anak-anak kita harus mengikuti apa yang kita inginkan. Dan bilamana hal itu tidak tercapai maka amarahlah yang kita tumpahkan kepada mereka.

Kalau menilik apa yang tuliskan oleh Khalil Gibran anakmu bukanlah milikmu, rasanya sebagai orang tua kita keliru menerapkan mimpi dan keinginan kita kepada anak-anak kita. Anak-anak kita memiliki impiannya sendiri, memiliki kelebihan dan kekurangan yang tidak kita miliki. Mengharapkan mereka untuk menjadi yang lebih baik dari kita adalah suatu tujuan yang luhur tapi seringkali kita lupa. Anak-anak kita belajar dan mencontoh dari apa yang kita lakukan setiap hari. Kalau kita selalu marah dan tidak dapat mengendalikan emosi, begitu pula anak-anak kita akan meniru dan menerima hal itu sebagai nilai yang wajar. Dan seperti pepatah mengatakan “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya” sesungguhnya menggambarkan bagaimana kita sebagai orang tua yang telah banyak berperan dalam pembinaan sikap dan perbuatan anak-anak kita. Kita adalah guru pertama mereka. Tanpa kita sadari kitalah yang menurunkan sikap-sikap itu kepada anak-anak kita.

Betapa miskinnya kita, kalau tidak mampu melihat kelebihan anak-anak kita dan menjadikan kita miskin akan pujian atas keberhasilan anak-anak kita. Betapa pedih hati anak-anak kita yang mimpinya terampas oleh keinginan orang tuanya? Kapan kita terakhir memuji mereka dan memberikan mereka semangat? Berapa kali kita menilai seorang anak hanya dari hasil akhir sebuah laporan nilai sekolah. Lupakah kita bahwa anak-anak kita mengalami kesulitan ketika mereka belajar? Proses anak-anak kita melawan kesenangan dirinya dan belajar adalah suatu proses pembentukan kepribadian. Tapi hal ini menjadi luput dari pengamatan kita.

Bagi kita sebagai orang tua tidak ada kata berhenti belajar, di dunia ini tidak ada sekolah yang mengajarkan kita menjadi orang tua yang baik. Yang kita butuhkan adalah memahami arti kebutuhan dasar anak-anak kita. Mereka butuh dicintai, dihargai dan dilindungin. Setiap kemarahan kita, hendaklah kita jelaskan mengapa kita marah, mengapa kita kecewa sehingga kita tetap menjaga agar hati anak-anak kita tidak menjadi tawar dan kehilangan kasih.

Bisakah kita menjadi pemanah yang menarik busur dengan kegembiraan, bisakah kita menjadi orang tua yang penuh kegembiraan membimbing anak-anak kita meraih mimpi dan harapannya? Kita bisa belajar dari Khalil Gibran.
Jakarta, 1 Agustus 2009 (9.56PM)
**Lina Kartasasmita**

Comments

Popular posts from this blog

Table topic 1: Never… never give up

We love to love

Dealing with difficult person with acceptance

Suffering and tired

My Relationship with God

“Alone”

I am still here for you

Hundred percent!!

I am perfectly blessed in my imperfection

Please keep doing it