Ibu bukannya orang Indonesia?

“Good teachers are costly, but bad teachers cost more.”
~ Bob Talbert
Sepuluh tahun lalu, seminggu sekali saya pergi berbelanja ke pasar swalayan di dekat rumah. Suatu kali saya melihat seorang anak berusia kira-kira sebelas tahun. Anak itu tampak mempunyai karakter yang baik dan berpakaian rapi. Dia tersenyum dan menghampiri saya yang agak kerepotan membawa barang belanjaan saya.
“Bu, boleh saya bantu?” dengan tersenyum anak laki-laki itu menawarkan jasa kepada saya.
Saya bertanya, “Siapa nama kamu?”
Sigap dia menjawab, “Udin, Bu.”
Sejak perkenalan saya dengan Udin, dia selalu ada untuk membantu saya membawa barang belanjaan saya. Walaupun hanya bertemu seminggu sekali, saya cukup sering berbincang dengan Udin. Saya suka bertanya uang yang dia terima dengan menawarkan jasa akan dibelikan apa dan bagaimana pelajaran di sekolah. Rasanya saya cukup mengenal anak itu.
Saat itu bulan Mei 1998, terjadi kerusuhan di mana-mana. Beberapa hari saya tidak berani keluar rumahkarena begitu mencekamnya suasana seperti yang saya saksikan di sekitar saya. Saya melihat orang-orang menjarah dan membakar toko-toko. Selang dua minggu saya memberanikan diri mengunjungi pasar swalayan tempat biasa saya berbelanja. Pasar swalayan itu tidak terkena dampak kerusuhan sama sekali. Tetapi, suasana mencekam masih terasa di sekitar pasar tersebut.
Udin tersenyum gembira melihat kedatangan saya. Dia bertanya, “Apa kabar, Bu? Kok Ibu tidak berbelanja beberapa minggu ini?”
Saya menjawab, “Saya tidak berani keluar rumah karena kerusuhan di mana-mana. Kamu di mana?”
Udin bersemangat menceritakan, “Oh saya ikut menjarah Bu… menjarah ruko-ruko di dekat rumah saya.”
Hati saya terkejut, sepertinya lenyaplah kebaikan di wajah Udin yang saya kenal selama ini. Saya bertanya,“Kamu tidak kasihan dengan mereka?”
“Tidak, Bu. Ayah saya bilang, saya boleh menjarah orang-orang keturunan itu karena mereka kaya dan tidak apa-apa menjarah mereka…” Udin bercerita sambil sibuk membantu membawakan belanjaan saya.
Setelah menaruh barang belanjaan saya saya mengajak Udin duduk sebentar dan berkata, “Udin, kamu tahu tidak kalau saya juga orang keturunan?”
Udin tampak terkejut. Lalu dia memandangi wajah saya dengan pandangan mata tidak percaya, “Ibu bukannya orang Indonesia?”
“Ya, saya orang Indonesia. Tetapi saya ini orang-orang yang disebut orang keturunan juga.”
Wajah Udin memerah. Dia memandangi lantai. Saya melanjutkan, “Din, apa yang dikatakan ayah kamu bahwa kamu boleh menjarah itu adalah salah. Siapa pun yang memiliki harta itu mereka juga bekerja keras untuk mendapatkannya. Mereka mungkin mengumpulkan bertahun-tahun untuk memiliki apa yang mereka punya. Dan, mereka juga mempunyai anak-anak yang harus mereka sekolahkan. Kamu tidak akan pernah tahu sampai di mana perjuangan mereka untuk memiliki semua yang tampaknya nyaman di mata kamu.”
“Mereka mungkin bangun lebih pagi dari kamu, berhemat untuk membangun rumah yang nyaman, dan banyak lagi yang mereka perjuangkan dalam hidup mereka, sama seperti perjuangan kamu. Yang jelas mereka punya hak yang sama untuk hidup di negeri ini sama seperti kamu,” lanjut saya.
Udin tampak gelisah mendengar perkataan saya. Lalu saya bilang, “Ya sudah saya mau pulang ya.... Semoga kamu tahu apa yang baik dan benar yang kamu harus lakukan dalam hidup kamu.”
Udin memandangi saya dan berkata, “Saya tidak tahu Ibu orang keturunan. Muka Ibu sama sekali berbeda dengan mereka….”
Saya menepuk bahu Udin dan berkata, “Apa pun warna kulit saya, apa pun warna mata saya, yang penting adalah warna hati saya. Kebaikan kita yang diperhitungkan Tuhan.”
Sejak itu saya tidak pernah bertemu Udin lagi.
Satu hal yang sering kita lupakan bahwa kadang sebagai orang tua kita tidak mengajarkan kebenaran kepada anak-anak kita sehingga mereka tersesat di jalan kehidupannya. Sekarang saat saya menulis artikel ini, si Udin pastilah sudah berusia sekitar 21 tahun. Saya tidak pernah bertemu Udin lagi memang. Namun saya hanya berharap percakapan kami yang hanya sesaat itu bisa mengubah pandangannya yang salah. Ya semoga saja….[lk]

Comments

Popular posts from this blog

Table topic 1: Never… never give up

We love to love

Dealing with difficult person with acceptance

Suffering and tired

My Relationship with God

“Alone”

Hundred percent!!

I am still here for you

I am perfectly blessed in my imperfection

Please keep doing it